Tentang manusia, yang melaut dikala senja dan pulang dikala fajar. Namanya pelaut. Pelaut yang tak kenal arang. Kabarnya, harinya sur...

Arunika #1


Tentang manusia, yang melaut dikala senja dan pulang dikala fajar.
Namanya pelaut. Pelaut yang tak kenal arang. Kabarnya, harinya suram. Tapi ia tetap berlayar. Berharap hatinya tenang saat melihat senja, sampai esok ketika melihat fajar menyapa.



Arunika-
     artinya fajar

Apa arti sebuah fajar ketika hanya senja yang dielu-elukan
Permulaan memang jarang diabadikan, tapi apa artinya tanda titik tanpa awalan huruf Kapital.

Aku menulis, dan aku akan sedikit bercerita.
tentang arti sebuah fajar bagi seseorang yang kunamakan pejuang fajar.

Kau tahu? Aku menyadari bahwa duniaku begitu sempit
Aku berkoar "Ayo keluar dari zona nyaman", tapi nyatanya ketidaknyamananku adalah kenikmatan bagi seseorang
Aku belajar, arti sebuah waktu
Aku belajar, arti sebuah uang
dan aku belajar arti sebuah pengalaman
dari seseorang yang kuawali dengan kernyitan dahi diawal perjumpaan.
Ya, sekarang aku benar-benar mengenalnya
 
"Boleh tak tanya sama mbake? Apa hal yang membuat mb e nangis ki pernah sampai buat mbake mati kelaparan?
Apa hal yang membuat mbake sedih ki membuat mbake merasa "kenapa mbak harus hidup di dunia?"
 
aku sedikit terpekik,tak pernah mengira pernyataan itu terlontar dari mulutnya. Seseorang yang berpenampilan agak berantakan, mata sayu yang terlihat bingkai hitam disekitar kantung matanya. Anehnya, dia adalah seseorang yang tak terlihat mempunyai tanggungan. Agaknya kehumorisannya hanyalah topeng bagi kelelahannya.

"Tidak, tentu tidak mas!, lha mas sendiri?" tanyaku
" Boleh saya cerita mb? Agaknya saya lihat mb banyak pikiran, mungkin cerita saya bisa menghibur mb." balasnya
 "Sok tau mas, saya nggak ada pikiran. Tapi silahkan mas" jawabku 
 Dia mulai bercerita, setiap kali ia membuka mulutnya dan bercerita, ada sedetik dimana ia menahan sesuatu dilehernya agar tak kelihatan nada kesedihan yang menyertainya.
Ia menunjukanku gambar di ponsel miliknya. Aku melihat ia memeluk gadis kecil cantik yang tersenyum kearahnya.

" Ini anaku mb, dia alasanku gak tau turu mb. Aku single parent mb. Mbake mungkin masih dalam masa galau karena cinta mungkin. Saya juga pernah mb. Saya nikah sama orang sik blas saya gak suka mb. Akhire ya saya dadi kayak ngene mb"
Aku hanya sedikit menganggukan kepala, awalnya aku tak sedikitpun tertarik tentang apa yang sedang dilewatinya. Kalau boleh kutekankan, ia sangat suka bercanda. Agaknya pada awal ia bercerita aku hanya menganggap itu hanya karangan guyonannya seperti biasa. Tapi nyatanya, aku ikut mengalir pada cerita yang memang ada. Ia mulai melanjutkan ceritanya.
Kalau bolehku persingkat dalam narasi, ia berkata bahwa ia bukan orang berada, bahkan untuk makanpun itu tergantung apa yang ia dapatkan pada gaji tak tetap yang ia punya. Dia kusebut pelaut karena memang pekerjaanya seperti sejatinya seorang pelaut yang hanya ia lakukan dalam konotasi darat.


" Saya kadang itu cuma tidur 3 jam mb, rumah saya gunung mb. sampe sini saja 45 menit. Kadang kalau hujan saya gak bisa ngeliat mb, mungkin ada yang salah dengan mata saya mb. Kalau bukan karena anak saya, saya ridho saja makan nasi garam seperti dulu mb. Tapi saya pengin anak saya seperti mbake dan yang lain. Saya belajar disini bukan semata mata karena gaada kerjaan mb, saya juga pengin pinter walau telat. Saya pengin kerja, dan anak saya bangga punya bapak kayak saya mb. Saya juga capek mb jadi "mata mata mb, kadang digebuki baline juga gak tentu mb. Doake saya ya mb."
Dan lagi lagi aku hanya bisa tertegun. Sebenarnya narasinya tak sesingkat itu. Mungkin bisa kuceritakan lain waktu.
Aku sedikit banyak belajar
bahwa,

Dalam hidup, jumlah peluang selalu banyak. Tidak pernah habis dan selalu bertambah ragam jenisnya.
Layaknya menyelami lautan, entah untuk observasi atau sekedar rekreasi, selalu ada banyak kemungkinan. Menggapai permukaan kembali dengan segenap usaha atau tenggelam tak berdaya.
Juga seperti mengendarai mobil di tengah gelapnya belantara. Antara mencari jalan keluar dalam gelap gulita, atau terperangkap hingga waktu yang tak tentu.
Iya, untuk bermacam hal yang tidak bisa kita prediksi, berjuang sampai titik penghabisan adalah satu-satunya pilihan.
Sampai akhirnya muncul pertanyaan, “Kita bertahan dalam sulitnya perjuangan, untuk siapa?” 

Seseorang sepertinya mengajarkanku bahwa ia selalu mengingat fajar sebagai permulaan dan ia akan tetap optimis masih ada senja yang akan menjadi penutup dari perjalanan 12 jamnya. Ia percaya ia bisa menikmati indahnya senja yang dijanjikan Tuhan sebagai penutup segala penat dalam hidupnya.

Dia memang buka Arunika pertama yang kujumpai, dan dia juga bukan penutup Arunika yang lain yang juga akan kuceritakan dalam narasi.




0 comments: